Sabtu, 01 Mei 2010

“A Short Film” yang masih aku ingat dan aku cari...



Saya masih ingat, hari itu, ketika saya berkunjung di Malang, ketika liburan setelah UAN, kakak mengajak saya mengikuti Seminar “Pernikahan Dini” di gedung Widyaloka Universitas Brawijaya. Dalam seminar itu menghadirkan tokoh Feminis lokal, seorang ustadz yang juga konsultan remaja terkenal (Ust Darwis), dan dr. Arif, dosen yang kata kakak , menjadi favorit di fkub. Seminar dimulai dengan nasyid “Ku pinang engkau dengan Al Qur’aan” oleh group nasyidnya UAKI UB. Dilanjutkan perbincangan mengenai definisi nikah dini, dan bedanya dengan “menyegerakan” nikah atau juga dengan “buru-buru” nikah. Karena saking banyaknya pendukung nikah dini di gedung itu, rupanya tokoh feminis yang dihadirkan tidak begitu gamblang menentang pernikahan dini.
Yap, diskusi tentang Pernikahan Dini pun selesai, ditutup dengan hadirnya dr. Arif sebagai pembicara berikutnya. Hanya saja, kali ini dr. Arif tidak membahas tentang Materi seminar tapi berkaitan dengan motivasi dan juga tentang “orang tua kita”. Ternyata memang benar, dr Arif motivator yang seolah-olah mampu menghipnotis audien. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, cukup lah membuat air mata menetes. Ketika itu diputarkan film berlogat malaysia. Film inilah yang hingga kini saya cari-cari tapi belum juga saya temukan. Ingin minta softcopy dari dr Arif, tapi sayang, saya tidak ditakdirkan menjadi mahasiswinya di Brawijaya.
Kembali ke film malaysia itu. Dikisahkan seorang kakek yang sudah sangat tua. Sang kakek sakit, lalu dibawa kakek itu ke rumah sakit oleh anak perempuannya yang sudah berkeluarga, memiliki satu anak laki-laki dan satu anak perempuan. Ternyata sang kakek pun kini harus memakai alat bantu pendengaran, dan akhirnya sepulang dari rumah sakit, sang kakek dirawat di rumah anak perempuannya itu. Hari demi hari dijalani sang kakek bersama keluarga anak perempuannya itu. Sarapan demi sarapan, Makan malam demi makan malam, dilalui sang kakek bersama keluarga anak perempuannya di satu meja makan.
Dari segi psikologi, orang yang sudah tua, mentalnya kembali ke masa kanak-kanak. Ia mulai sering lupa, bahkan sering mengulang-ulang perkataannya. Suatu ketika satu keluarga ini duduk di meja makan, sang kakek memecahkan piringnya sendiri. pikirku, sang kakek sengaja melakukannya. Bagaimana tidak, selama makan malam, setiap hari, setiap saat, anak perempuannya dan keluarganya begitu mengacuhkannya, seolah-olah tidak ada kakek di kursi ujung meja makan itu. Mereka sibuk bersendau gurau sendiri. Mungkin, dengan memecahkan satu piring itu cukup menegur sang anak bahwa ada ayahnya yang masih hidup di satu meja makan itu. Begitu seterusnya sang anak belum juga tersadar, malah mengganti piring ayahnya dengan piring plastik tanpa memikirkan maksud dari sang ayah. Permasalahan tidak berhenti di sini, kakek mulai menunjukkan sikap yang “kurang sopan” saat makan. Bukan pemahaman namun malah terjadi percekcokan antara sang istri dan suami. Awalnya sang istri masih membela ayahnya, tapi lama kelamaan sang istri pun turut menghujat ayahnya yang sudah tua renta itu. Mendengar pembicaraan anak dan menantunya yang sedemikian menggores hati nya, sang kakek pun dengan sengaja melepaskan alat bantu pendengarannya. Ia lebih senang menjadi tuli, daripada mendengar putri dan menantunya sendiri turut menghujatnya.
Hingga pada akhirnya, suami istri itu membuatkan sang kakek sebuah meja makan sendiri di depan kamar sang kakek, terpisah dari meja makan mereka. Sang kakek pun makan dengan piring plastik, segelas air, ditemani dengan seekor kucing yang kini menjadi satu-satunya teman setia sang kakek.

Suatu hari, kedua cucu sang kakek tengah bermain dengan kursi dan meja di halaman depan rumah. Dengan penasaran, sang Ibu bertanya kepada kedua anaknya yang masih kecil itu tentang apa yang mereka lakukan dengan kedua kursi dan satu meja itu? Dan dengan polosnya, sang anak menjawab, “Kursi yang ini untuk ayah besok kalau tua dan kursi yang ini untuk ibu”.
Seketika hati sang Ibu terbuka, hati nya luluh, ia teringat dan tersadar apa yang telah ia lakukan pada ayahnya yang kini sudah tua renta itu. Yang harusnya kita beri perhatian dan kasih sayang di masa tuanya, sebagaimana dulu ia mengasihi sang anak ketika sang anak masih kecil. Ingatkah ketika kecil kita sering mengulang-ulang pertanyaan kita kepada orang tua, orang tua dengan sabar menjelaskan dan memperkenalkan benda-benda di muka bumi ini dengan kesabarannya, maka adilkah jika kita menyalahkan orang tua yang juga mengulang-ulang perkataannya karena alasan yang sudah wajar yaitu “lupa”. ???
Dengan berlinangan air mata, sang anak segera berlari menuju kamar ayahnya, ayah yang kini sudah sangat tua, yang tengah terduduk di kursi usang menatap satu foto yang juga sudah usang. Foto dirinya dengan putri kecilnya dulu, yang tertidur di pangkuannya. ...

Mungkin itu salah satu ilmu yang saya bawa dari kota Malang, hingga saat ini masih saya ingat. Banyak hal yang menjadikan saya jatuh cinta dengan kota sejuk penuh dengan taman bunga sepanjang jalan itu. Dengan kwetiau di kantin samping perpustakaan. Dengan perpustakaan dimana saya dipertemukan dengan buku bagus di sampoerna corner nya (jazk mba dewi sudah menyusupkanku masuk perpus UB). Dengan MRP ( Masjid Raden Patah ) yang sederhana. Lapangan tempat latihan inkai akhwat2 ksatria. Alhamdulillah saya pernah diberi kesempatan mengais manfaat dari kunjungan singkat ke kota itu. Maafkan saya wahai kota malang, harus kulabuhkan perjuangan di kota solo, karna ternyata antara aku dan kau tidak ditakdirkan. (kogLebayGini???).
Finnaly, disinilah saya, solo, dengan membawa sepercik manfaat dari kota Malang.

2 komentar:

Roihanatuljannah mengatakan...

Kapan ke malang lagi?! aku pun dah menganggap kota itu sebagai kampung halaman keduaku :-) (poligami nih ceritanya, hehe)

Wahyu Yunitasari mengatakan...

hmmm,,,nitip salam saja mba buat Jl. Watugilang, watugong, watu watu yang lain, asal ga watu ginjal aja ya!hehe. kemaren juga diundang Ukhty Alwi buat main ke malang.

Posting Komentar